Takkan Berpisah
Table of Contents
Masih saja seperti kemarin, tiada yang berubah. Pagi menyambut setiap orang dengan penuh senyuman riang. Tapi apakah senyumku setulus mereka, aku tak mengerti tapi tetap saja mereka melemparkan senyum mereka padaku. Aku tak tahu apakah aku masih bisa tersenyum esok hari dan hari hari selanjutnya. Sedang aku merasa tiada berguna lagi dalam kehidupan ini. Aku tak tahu, mengapa setiap orang yang berada di dekatku harus menderita, mengapa mereka harus selalu meneteskan air mata. Mengapa aku selalu mendatangkan penderitaan bagi orang lain??? Apa yang salah dengan diriku? Tak layakkah aku untuk berpijak di bumi ini, dan apakah aku juga tak pantas untuk menghirup udara segar lagi di dunia ini?? Lalu aku harus berlari kemana, ataukah aku harus memohon agar bumi menelan diriku, atau meminta laut menghanyutkanku, atau aku harus merengek agar angin mengisapku hingga aku tak perlu hadir di bumi ini? Apa salahku? Mengapa semua terdiam, mengapa tak ada yang menjawab.
Belum layu bunga yang kutabur, belum kering tanah yang memerah tapi mengapa rasanya aku sudah begitu lama kehilanganmu? Aku,….. aku sangat marah padamu. Mengapa kamu meninggalkanku, kenapa kamu tak membawaku pergi bersamamu? Bukankah itu yang terbaik daripada aku harus disini sendiri menenun luka dan berusaha lari dari alam nyata? Mengapa kamu tersenyum, mengapa?? Tidakkah kamu merasa bersalah meninggalkanku, tidakkah kamu merasa bertanggung jawab? Dimana kamu kini, aku tak bisa menebak, Aku tak percaya bahwa kamu terbaring diselimuti tanah ini, terbujur kaku kata mereka. Aku tak mau percaya, karena aku takut.. takut sekali mengakuinya.
Aku ingin percaya bahwa kamu masih hidup, masih bernafas dan nanti akan datang menuntunku kembali melintasi jalan jalan berbatu. Ingin rasanya kugali kembali gundukan tanah ini, agar aku masih bisa menatapmu, bukan hanya memandangi potretmu yang masih menggantung indah di dinding kamarku. Aku ingin bisa meraba wajahmu, bukan hanya meraba bayangmu.
Tapi, disini saat ini aku hanya bisa meraba batu nisanmu, hanya bisa menggenggam angan angan. Mengapa engkau tidak terbangun saja, dan bercanda denganku? Mengapa dunia ini tidak adil, mengapa malah engkau yang pergi. Alangkah baiknya jika aku bisa menggantikan tempatmu, alangkah baiknya jika kemarin aku yang duduk di tempatmu, sehingga engkau tak perlu pergi. Mungkin kalau aku yang pergi, takkan ada yang kehilangan, takkan ada yang merasa terbebani, tapi apa yang bisa dilakukan lelaki cacat seperti aku? Jangankan untuk menyetir mobil, untuk bergerakpun aku masih butuh bantuan orang lain. Mengapa orang sebaik kamu harus pergi? Apakah kamu sudah begitu letih sehingga akhirnya memutuskan untuk pergi, padahal aku masih sangat membutuhkan dirimu? Lalu pada siapa lagi aku harus bercerita tentang mimpi mimpiku, tentang cita citaku, tentang kita? Hanya kamu yang bisa mengerti aku. Hanya kamu yang bisa memberi semangat dalam hidupku, tanpa kamu aku harus bagaimana? Berkat kamu aku sudah mulai terbangun dari dunia mimpi, tapi sebelum benar benar aku berdiri tegak, kamu telah tinggalkan aku, sehingga aku kembali terjatuh karena berpijak pada pondasi yang kurang kokoh.
Seharusnya hari itu, kita bergembira. Aku sangat bahagia sehingga aku tak sabar ingin berjumpa denganmu, aku ingin kamu tahu, aku telah berhasil menulis sebuah novel dan akan segera diterbitkan. Aku ingin berita ini menjadi hadiah pertunangan kita, tapi mengapa aku malah harus mendengar berita buruk, mengapa kecelakaan itu harus terjadi dan merengut nyawamu?? Mengapa?
"Dan, hari sudah cukup sore. Sebaiknya kita pulang, aku takut om dan tante akan kwatir". Aku masih enggan meninggalkan tempat ini, aku masih ingin disini, ingin disini.
"Ayolah Dan, biarkan ia beristirahat dengan tenang. Jangan kamu bebani dia lagi, tempatnya sudah lebih baik dari kita. Kamu harus merelakannya, harus Dan. Kamu harus bangkit, kamu harus tunjukkan kepadanya bahwa usahanya selama ini tiada sia sia.
"Cukup Don, cukup. Bukan kamu, tapi aku. Aku yang merasakan Don. Aku tahu aku sangat membebani ia, atau mungkin kamu juga merasa terbeban karena harus menjadi sopirku selama ini?".
"Bukan maksudku begitu Dan,aku…………"
"Aku tahu Don, aku selalu merepotkan orang banyak, tapi apakah ini kehendakku? Apakah aku ingin seperi ini? Tidak……tidak Don. Kamu tidak tahu Don, walaupun kamu saudara kembarku. Karena kamu begitu sempurna. Sedangkan aku Don, apa yang bisa aku lakukan? Lalu salahkah aku bila aku benar benar merasa tersiksa kehilangan orang yang aku cintai? Mungkin bagi kamu dan lelaki lain di dunia ini, akan begitu mudah mendapat gantinya. Tapi bagi aku Don, aku cacat. Selama ini hanya Tia yang mengerti aku dan mencintai aku. Bagaimana aku harus hidup Don, bagaimana? Kalau saja Tuhan bersedia menjemputku aku bersedia Don, sangat." Entah bagaimana rupaku saat ini, dan air mataku mulai menetes lagi. Tak kuasa aku bendung. Tapi jiwaku rasanya terbang jauh, seiring dengan kursi rodaku yan sudah mulai bergerak.
Kurasakan kakiku dapat aku gerakkan, apakah ini sebuah mukzizat? Tapi, dimana aku ini? Bukankah tadi aku bersama Doni di atas mobil, tapi dimana aku kini? Dan mengapa Doni terbaring disitu? Bukan, itu bukan Doni, itu aku. Apa yang tengah terjadi? Aku tak bisa ingat apa apa lagi, rasanya aku terbang melayang layang. Aku melihat Tia datang, melambai untukku, dan aku pun tak ragu ragu untuk menghampirinya. Kecelakaan di jalan raya telah merengut nyawa saudara kembar Doni Budiman seorang penulis yang baru menerbitkan novel perdananya.
natalenaputri, 2006
Post a Comment